
September Hitam: Lembaran Kelam Perjalanan Demokrasi Indonesia
Banjarmasin – Sabtu, 6 September 2025, Keluarga Besar Mahasiswa UIN Antasari mengadakan aksi simbolik, yang mana setiap bangsa memiliki catatan sejarah yang penuh luka. Bagi Indonesia, bulan September sering di ingat sebagai bulan penuh tragedi, di mana darah, air mata, dan perlawanan rakyat mewarnai perjalanan bangsa. Dari tragedi G30S/PKI hingga gerakan Reformasi Dikorupsi, September menjadi simbol sekaligus pengingat bahwa demokrasi dan kemanusiaan di negeri ini tidak pernah hadir dengan mudah, tetapi dibayar mahal dengan nyawa dan pengorbanan.
Beberapa Kejadian Kelam dibulan September antara lain:
1. G30S/PKI (1965)
Tragedi pertama yang melekat dengan September adalah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sejumlah perwira tinggi TNI Angkatan Darat diculik dan dibunuh, memicu konflik politik berkepanjangan. Peristiwa ini kemudian dijadikan legitimasi bagi operasi militer yang menewaskan ratusan ribu orang yang dituduh simpatisan PKI. September 1965 menjadi awal dari rezim militer yang berkuasa puluhan tahun, dan meninggalkan trauma mendalam bagi bangsa.
2. Tragedi Tanjung Priok (1984)
Dua dekade kemudian, September kembali mencatat sejarah kelam melalui Tragedi Tanjung Priok. Aparat menembaki masyarakat sipil yang sedang menyampaikan aspirasi mereka terkait isu diskriminasi dan ketidakadilan. Ratusan korban jiwa berjatuhan, tetapi kebenaran dan keadilan atas tragedi ini lama terkubur di bawah represi Orde Baru. Peristiwa ini menandakan betapa mahalnya harga kebebasan berpendapat di masa itu.
3. Tragedi Semanggi II (1999)
Pasca tumbangnya Orde Baru, rakyat berharap era baru demokrasi akan terbuka lebar. Namun, tragedi Semanggi II pada September 1999 menunjukkan bahwa represi tidak serta-merta hilang. Aksi mahasiswa menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya dibalas dengan peluru. Mahasiswa dan masyarakat sipil menjadi korban, dan tragedi ini meninggalkan luka bahwa suara rakyat masih kerap dibungkam.
4. Pembunuhan Munir (2004)
Memasuki era Reformasi, harapan terhadap tegaknya hak asasi manusia kembali diuji. Pada 7 September 2004, Munir Said Thalib, aktivis HAM vokal, diracun dalam penerbangan menuju Belanda. Kematian Munir menjadi simbol betapa berbahayanya memperjuangkan kebenaran di negeri ini. Hingga kini, dalang utama pembunuhan Munir belum pernah benar-benar diungkap tuntas.
5. Pembunuhan Salim Kancil (2015)
Pada September 2015, aktivis lingkungan Salim Kancil meregang nyawa setelah dianiaya secara brutal karena menolak tambang pasir ilegal di Lumajang, Jawa Timur. Peristiwa ini menggambarkan bahwa perjuangan rakyat kecil melawan keserakahan dan kerusakan lingkungan masih berujung maut. Nama Salim Kancil kini dikenang sebagai simbol perlawanan warga terhadap mafia tambang.
6. Reformasi Dikorupsi (2019)
Dua dekade setelah reformasi, ribuan mahasiswa kembali turun ke jalan pada September 2019 dalam gelombang aksi Reformasi Dikorupsi. Mereka menolak revisi UU KPK, RKUHP, dan berbagai regulasi yang dianggap melemahkan demokrasi serta merugikan rakyat. Aksi yang dipenuhi idealisme generasi muda ini juga menelan korban jiwa, mengingatkan bahwa perjuangan untuk Indonesia yang lebih adil masih jauh dari usai.
7. 17 + 8 Tuntutan Rakyat
Dari berbagai aksi sepanjang Agustus akhir hingga September, tuntutan rakyat selalu mengkristal dalam bentuk agenda perubahan. Salah satunya adalah 17 + 8 tuntutan rakyat yang lahir dari gelombang demonstrasi mahasiswa. Tuntutan tersebut mencakup isu pemberantasan korupsi, penegakan HAM, sahkan RUU perampasan aset dan masyarakat adat, perlindungan lingkungan, hingga reformasi hukum. Semua ini menunjukkan bahwa rakyat tidak sekadar menolak, tetapi juga menawarkan arah baru bagi bangsa.
Yazid Arifani Presiden Mahasiswa menyampaikan bahwa momentum ini sekaligus menjadi wujud nyata Sinergi Antasari, di mana mahasiswa dari semua fakultas, organisasi, dan latar belakang bersepakat merapatkan barisan. Sinergi ini menandakan bahwa perbedaan bukanlah pemisah, melainkan kekuatan untuk melawan penindasan dan menjaga demokrasi.
Dengan membawa semangat Pangeran Antasari yang tak pernah tunduk pada penindasan, mahasiswa UIN Antasari menyerukan agar peringatan September Hitam tidak hanya sebatas ritual tahunan, melainkan dijadikan sumbu perlawanan untuk terus mengawal jalannya negara.
Rahmatullah Menko Analisis Pergerakan DEMA UIN juga berpendapat “September Hitam” bukan sekadar rangkaian tragedi, melainkan pengingat bahwa demokrasi dan keadilan selalu diperjuangkan, tidak pernah datang dengan sendirinya. Dari 1965 hingga kini, setiap darah yang tumpah dan nyawa yang hilang adalah suara yang menuntut kebenaran.
September mengajarkan bahwa bangsa ini harus terus waspada, jangan sampai luka masa lalu berulang, dan jangan biarkan pengorbanan para korban menjadi sia-sia.